Untuk memperluas pemasaran, pemanfaatan jaringan distribusi seringkali tak terhindarkan. Tapi dibutuhkan kejelian untuk memilih jaringan agar hasilnya maksimal.
Memasarkan produk ke tengah-tengah pasar dengan jangkauan luas bukan perkara mudah. Pengusaha yang menjadi produsen, seringkali membutuhkan pihak lain yang bertindak sebagai distributor. Mengenai bentuk jaringan distribusi dan pihak yang terlibat di dalamnya, memang bisa berbeda antara produk satu dengan yang lainnya.
Dalam usaha makanan berbahan baku tepung, untuk produksi tertentu seperti kue kering, pihak yang melakukan peran sebagai distributor itu biasanya disebut pedagang pengumpul. Ada juga yang mengandalkan peran toko-toko kue dan lain sebagainya.
Pilihan untuk melibatkan pihak lain sebagai distributor seringkali tak terhindarkan. Antara lain, untuk alasan efisiensi dan efektivitas. Namun, pilihan ini bukannya tidak mengandung risiko. Sebab, bagaimanapun pihak distributor tidak mudah diatur begitu saja. Malah, sering terjadi, justru merekalah yang berada pada posisi tawar lebih kuat, karena penguasaannya pada pasar.
Selain itu, para distributor tersebut biasanya juga menyalurkan produk sejenis dari produsen lain. Mereka akan cenderung memprioritaskan produk yang memberikan margin lebih besar, meskipun kualitasnya lebih jelek.
Kepentingan produsen dan distributor kadang tidak nyambung. Misalnya, produsen mau produknya tersebar di mana-mana dengan melibatkan banyak pengecer, sedangkan distributor maunya hanya menyalurkan ke beberapa pengecer saja untuk menekan biaya. Karena itu, diperlukan upaya khusus untuk merayu distributor. Misalnya, dengan memberi kelonggaran pembayaran dan kompensasi lainnya.
Namun, kenyataannya tentu saja masih banyak distributor yang baik, dalam arti mau bekerja sama dengan landasan saling menguntungkan. Sebab, bagaimana pun, distributor juga memerlukan produk yang beragam atau lengkap agar lebih mudah berhubungan dengan pengecer.
Di sinilah produsen dituntut kejeliannya dalam memilih. Saking pentingnya untuk kelanggengan usaha, memilih distributor hampir sama dengan memilih pasangan hidup. Karena hubungan itu sebaiknya berjangka panjang, kedua ihak harus benar-benar satu hati untuk saling mendukung. Sejak awal sudah harus ditumbuhkan sikap saling mencurigai. Produsen harus memperhatikan kepentingan distributor dan sebaliknya.
Pendapat atau saran dari distributor juga mesti dijadikan masukan yang berharga karena mereka lebih mengetahui kondisi pasar, termasuk selera konsumen. Lagi pula, distributor juga menginginkan produk yang disalurkannya cepat diserap pasar. Maka, misalnya, jika mereka menyarankan untuk meningkatkan kualitas, mengembangkan produk agar sesuai dengan perkembangan selera konsumen, bahkan merubah kemasan tidak ada ruginya dipertimbangkan. Jangan malah mengabaikannya. Dengan berteguh pada prinsip: "Kalau mau menjual produk saya, silakan. kalau gak mau, saya bisa cari distributor lain."
Meskipun berhak memilih atau berpindah-pindah distributor, sebaiknya tidak coba-coba bertindak seenaknya hingga membuat sakit hati distributor. Ingat, mereka sudah mempunyai jaringan luas ke toko-toko pengecer sehingga punya kemampuan untuk menghambat penjualan produk dari produsen yang tidak disukainya.
Banyak Keuntungan, tapi Butuh Banyak Biaya
Lantas, bagaimana kalau kegiatan distribusi produk dilakukan sendiri saja tanpa melibatkan distributor? Boleh-boleh saja. Tapi harus dihitung secara cermat, karena bakal menelan biaya yang cukup besar. Misalnya, untuk pengadaan kendaraan armada pemasaran atau bahkan membuka cabang di sejumlah wilayah pemasaran yang menjadi target.
Belum soal tenaga kerja yang kemungkinan besar mesti merekrut lagi. Tambahan lagi, tidak mudah mencari tenaga pemasar yang handal. Masalah lainnya adalah soal pembayaran atau piutang yang tentu saja akan lebih repot mengurusnya karena tersebar di banyak tempat (pengecer). Berbeda jika masih berhubungan dengan distributor.
Tapi, melakukan kegiatan distribusi sendiri juga banyak keuntungannya. Antara lain, produsen bisa memperoleh informasi tentang pasar untuk produknya secara langsung. Informasi ini sangat penting, baik untuk pengembangan produk maupun menyusun strategi pemasaran ke depan. Potensi pasar setiap wilayah bisa diukur secara lebih akurat. Dengan begitu, target penjualan untuk wilayah itu bisa diprediksi lebih cepat, termasuk tingkat pertumbuhan yang diharapkan.
Pengelolaan produk kadaluarsa pun bisa dilakukan dengan lebih cermat. Persoalan ini tidak bisa dianggap sepele. Jika ada produk kadaluarsa yang sempat dibeli konsumen, citra produk secara keseluruhan bisa terganggu. Tak kalah pentingnya, produsen juga berkesempatan memberikan service langsung pada pengecer agar mereka lebih bersemangat mendukung produknya, misalnya, dengan cara dipajang secara lebih menonjol. Kegiatan seperti ini jarang dilakukan distributor.
Produsen juga tidak bergantung pada distributor untuk mempertahankan keberadaan produknya di pasar. Bahkan, dengan mata rantai yang lebih pendek, keuntungan yang diperoleh bisa lebih tinggi. Terlebih untuk produk makanan yang usia konsumsinya relatif pendek, sebaiknya memang didistribusikan sendiri. Persoalannya, itu tadi. Biaya yang diperlukan cukup besar.
Terobosan
Untuk mengatasi persoalan tersebut banyak produsen makanan berbahan baku tepung yang kreatif melakukan terobosan. Mereka tetap bisa mengendalikan atau menguasai jaringan distribusi atau pemasaran tanpa harus membuka cabang atau merekrut tenaga pemasar.
Caranya adalah melalui kerja sama yang mirip waralaba. Pengusaha atau produsen menjaring pihak lain untuk membuka usaha sesuai dengan konsepnya, tapi dengan modal sendiri. Berbeda dengan waralaba, di sini tidak ada fee yang harus disetor. Pihak yang diajak kerja sama hanya diharuskan menjual produknya. Karena itu, modal yang mesti dikeluarkan pun tidak begitu besar.
Cara seperti ini cukup efektif. Sebab, pemilik outlet pasti bekerja mati-matian agar produknya terjual karena ia sudah menanamkan modal dan usaha itu adalah miliknya. Berbeda kalau ia seorang karyawan yang bertugas sebagai tenaga pemasar yang sama sekali tidak mengeluarkan modal.
Kreativitas dalam membangun jaringan distribusi seperti itu terus berlanjut. Masing-masing pengusaha aktif melakukan pemasaran lewat berbagai cara dan kesempatan. Jika pengusaha mengambil cara ini, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Di samping kesiapan untuk memasok produk setiap saat, dengan sebaran yang sangat luas juga mesti melakukan pembinaan kepada semua pemilik outlet. Paling tidak, komunikasi tidak putus. Kalau ini tidak dilakukan, lama-kelamaan pemilik outlet bisa bertindak sendiri dan mengabaikan konsep kerja sama. Jika ini terjadi, konsep pemasaran yang sudah dirintis bakal kacau.
Konsep lain yang cukup sudah terbukti efektif adalah dengan memberikan fasilitas penuh pada pedagang. Namun, konsep ini membutuhkan modal cukup besar untuk pengadaan peralatan.
Pilihan jaringan distribusi apapun memang ada kelebihan dan kekurangannya. Tinggal bagaimana pengusaha atau produsen jeli memilih dan mengelolanya agar memperoleh hasil yang maksimal.
(WM/E131/ThVI/2006)
Terobosan
Untuk mengatasi persoalan tersebut banyak produsen makanan berbahan baku tepung yang kreatif melakukan terobosan. Mereka tetap bisa mengendalikan atau menguasai jaringan distribusi atau pemasaran tanpa harus membuka cabang atau merekrut tenaga pemasar.
Caranya adalah melalui kerja sama yang mirip waralaba. Pengusaha atau produsen menjaring pihak lain untuk membuka usaha sesuai dengan konsepnya, tapi dengan modal sendiri. Berbeda dengan waralaba, di sini tidak ada fee yang harus disetor. Pihak yang diajak kerja sama hanya diharuskan menjual produknya. Karena itu, modal yang mesti dikeluarkan pun tidak begitu besar.
Cara seperti ini cukup efektif. Sebab, pemilik outlet pasti bekerja mati-matian agar produknya terjual karena ia sudah menanamkan modal dan usaha itu adalah miliknya. Berbeda kalau ia seorang karyawan yang bertugas sebagai tenaga pemasar yang sama sekali tidak mengeluarkan modal.
Kreativitas dalam membangun jaringan distribusi seperti itu terus berlanjut. Masing-masing pengusaha aktif melakukan pemasaran lewat berbagai cara dan kesempatan. Jika pengusaha mengambil cara ini, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Di samping kesiapan untuk memasok produk setiap saat, dengan sebaran yang sangat luas juga mesti melakukan pembinaan kepada semua pemilik outlet. Paling tidak, komunikasi tidak putus. Kalau ini tidak dilakukan, lama-kelamaan pemilik outlet bisa bertindak sendiri dan mengabaikan konsep kerja sama. Jika ini terjadi, konsep pemasaran yang sudah dirintis bakal kacau.
Konsep lain yang cukup sudah terbukti efektif adalah dengan memberikan fasilitas penuh pada pedagang. Namun, konsep ini membutuhkan modal cukup besar untuk pengadaan peralatan.
Pilihan jaringan distribusi apapun memang ada kelebihan dan kekurangannya. Tinggal bagaimana pengusaha atau produsen jeli memilih dan mengelolanya agar memperoleh hasil yang maksimal.
(WM/E131/ThVI/2006)